Ketua Komisi XIII DPR RI Willy Aditya mendesak pemerintah Indonesia untuk mengambil langkah diplomasi lebih tegas guna memulangkan Paulus Tannos, buronan kasus korupsi e-KTP yang saat ini berada di Singapura. Pernyataan ini disampaikan menyusul lambatnya proses ekstradisi tersangka yang telah menjadi buronan Interpol sejak 2018 tersebut.
Desakan Diplomasi Imperatif untuk Kasus Tannos
Willy Aditya menegaskan bahwa pemerintah perlu menggunakan pendekatan diplomasi imperatif dalam bernegosiasi dengan otoritas Singapura. “Kita tidak bisa hanya mengandalkan jalur biasa. Perlu ada tekanan diplomasi yang lebih kuat karena ini menyangkut komitmen negara memberantas korupsi,” ujar politikus Partai NasDem itu.
Tannos, yang merupakan mantan pengusaha terkait proyek e-KTP, diduga terlibat dalam kasus korupsi yang merugikan negara triliunan rupiah. Meski telah menjadi buronan Interpol Red Notice, proses hukumnya terhambat karena Singapura belum memenuhi permintaan ekstradisi dari Indonesia.
Kendala Hukum dan Upaya Penyelesaian
Beberapa faktor yang disebut menghambat proses ekstradisi Tannos antara lain:
-
Perbedaan sistem hukum antara Indonesia dan Singapura
-
Persyaratan dokumen yang dinilai belum lengkap oleh otoritas Singapura
-
Kemungkinan adanya upaya hukum yang dilakukan oleh pengacara Tannos di Singapura
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly sebelumnya mengaku terus berkoordinasi dengan Kementerian Luar Negeri untuk mempercepat proses ini. “Kami telah memenuhi semua persyaratan administrasi dan terus melakukan pendekatan bilateral,” jelas Yasonna.
Dukungan Lembaga Anti Korupsi
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyambut baik desakan DPR untuk mempercepat pemulangan Tannos. “Kami telah menyiapkan seluruh dokumen pendukung dan siap melanjutkan proses hukum begitu Tannos tiba di Indonesia,” kata Juru Bicara KPK Ali Fikri.
Ali menambahkan, kasus ini merupakan ujian bagi kerjasama internasional Indonesia dalam penegakan hukum korupsi. “Ini akan menjadi preseden penting bagi kasus-kasus serupa di masa depan,” tegasnya.